Tumpal Simanjorang (Fe Unpar 82kiri) dan Wilmar E. Simandjorang (Sospol Unpar 75) mengapit Marolop Situmorang (FH Unpar 86) dalam satu kegiatan di Samosir.(Foto: Dok Paul Manjo Sinaga/Kater) |
Pangururan-Dijadikannya Kawasan Danau Toba (KDT) sebagai ‘Program Super Prioritas Destinasi Wisata Utama” oleh Presiden Joko Widodo adalah yang pantas dan layak disyukiri oleh Masyarakat Batak, khususnya mereka yang tinggal pada kawasan tersebut. Penetapan yang demikian itu, maksudnya dan tujuannya, tiada lain tiada bukan adalah untuk menjadikan kawasan ini menjadi salah satu pusat industry wisata sehingga dengan itu masyarakatnya diharapkan dapat lebih maju dan sejahtera.
Namun demikian, perjalan KDT menuju sebuah ‘pusat wisata utama’ tentu tidak segampang membalik telapak tangan. Terutama dalam hal kesiapan warganya untuk menerima program tersebut: Sudahkah warga yang ada siap menerima profram itu?
Sebagai Pelaku
Kesiapan warga sebagai pelaku pastilah terkait dengan pelaksanaan pembangunannya. Sedang bebrbicara dengan sebagai pelaksana sudah tentu bersangkut-paut dengan manfaat yang akan diperoleh.
“Kalau warga sekitar hanya sebagai penonton, bukan pelaku, lalu tentu kita bertanya: Sebenarnya pembangunan yang dilakukan di KDT untuk siapakah?”, ujar Wilmar Simandjorang, sebagaimana yang ditirukan oleh Tumpal Simanjorang.
Sebagaimana diketahui, Wilmar E. Simandjorang dan Tumpal Simanjorang. adalah dua orang Pomparan Toga Sinaga yang sejak lebih 10 tatun terakhir terlihat mencurahkan waktu, tenaga dan pemikirannya berkegiatan di bidang pelestarian lingkungan. Terutama Wilmar, selepas menjabat sebagai Bupati Samosir dan Purna Bhakti sebagai PNS, terlihat sangat intens dalam berbagai kegiatan yang terkait lingkungan.
Kembali kepada kesiapan sebagai pelaku pembangunan tadi, dari pengalaman Wilmar dan Tumpal dalam berkegiatan, mereka melihat ada gap yang begitu lebar antara program yang dijalankan pemerintah dengan pemahaman warga terhadap pembangunan itu.
“Dari persepsi masyarakat, saya melihat bahwa pelaksanaan pembangunan seperti sebuah kewajiban pemerintah dan warga tidak punya hak untuk terlibat,” ujar Tumpal memberi penilaian. Dan atas dasar hal tersebutlah makanya Ketika Wilmar mengajak Tumpal untuk mendirikan sebuah Lembaga dengan bertujuan memberi pemahaman tentang persoalan itu, langsung diterimanya.
Padahal, sebagaimana yang dikatakan selanjutnya oleh Tumpal, rakyat harus dilibatkan dalam pembangunan karena merekalah obyek dan subyek dari pembangunan itu sendiri.
Lingkungan dan Budaya
Selain ditetapkan sebagai Program Pembangunan Super Prioritas, tidak lama kemudian KDT juga ditetapkan oleh UNESCO sebagai Jaringan Geopark Global atau Unesco Global Geopark Kaldera Toba. Tepatnya, penetapan itu dilakukan tanggal 2 Juli 2020 dalam Sidang Dewan Eksekutif UNESCO di Paris, Perancis.
Khusus bagi Wilmar E. Simanjorang yang Aumni Sospol Unpar 75 ini, penetapan itu adalah sesuatu yang sangat menggembirakan bagi dirinya pribadi, mengingat dia adalah salah satu yang secara konsisten dan pantang menyerah agar GKT dapat menjadi jaringan Global Geopark Unesco. Sayang memang, sebagaimana yang dikatakannya, penetapan itu harusnya bisa terlaksana saat kunjungan Presiden Jokowi ke Lokasi Pusat Geopark Kaldera Toba, di Sigulatti Pusuk Buhit, Samosir.
“Andai saja GKT telah menjadi bagian Unesco GlobalGeopark saat kunjungan presiden itu, maka segala jerih-payah saya akan terbayar lunas,” ujar Wilmar.
Sebagai bagian Unesco Global Geopark, maka KDT harus mengukuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh badan yang menetapkan tersebut. Maka, kelestarian lingkungan dan budaya adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar untuk tidak dilakukan. Lingkungan sebagai tempat aneka keragaman hayati dan unsur geolagi, dan budaya sebagai unsur eksisnya peradaban pada kawasan, harus dilestarikan dan dirawat sesuai standard UNESCO.
“Bahwa apa yang disyaratkan Unesco itu, bagi kami sebenarnya tidak ada bedanya dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh Si Raja Batak. Bahwa bumi KDT, sebagai jagad raya menurut konsep mitologi Batak, hanya mungkin lestari apabila lingkungan dan budayanya tetap dijaga dan dirawat sebagaimana ajaran lelihur kami itu,” kata Tumpal memberi argumentasi. “Dan terhadap itu, antara saya dengan Bang Wilmar memiliki pandangan yang sama,” lanjut Alumni FE Unpar 82 Bandung ini.
Perlindungan Masyarakat Adat
Baik Tumpal dan Wilmar, juga sama-sama sepakat bahwa pelestarian lingkungan dan budaya tidak mungkin terlaksana dengan baik manakala Masyarakat Adat tidak dilibatkan. Apalagi, lanjjt mereka, Masyarakat Adat adalah sebagai pemilik legal standing dalam bidang lingkungan mau pun adat pada KDT.
“Banyak dari kita yang salah paham bahwa pemilik hak atas tiap jengkal tanah pada KDT adalah Masyarakat Adat. Maka dengan fakta itu, mungkinkah soal-soal yang berkaitan dengan lingkungan dan budata pada KDT dapat terlaksana tanpa Masyarakat Adat tersebut,” terang Tumpal memberi arugumentasinya terkait fungsi dan peran masyarakat adat terkait lahan yang ada di KDT.
Maka terkait dengan hal tersebut, Tumpal memberi pendapat, agar secepatnya pemerintah dan legislatif membuat undang-undang atau peraturan yang membuat Masyarakat Adat menjalankan fungsi dan peran tersebut.
“Sebagai pemilik legal standing atas tanah yang ada di KDT, maka pemerintah dan legislatif harus secepatnya membuat undang-undang atau peraturan yang memungkinkan Masyarakat Adat memainkan peran dan fungsinya,” pungkas Tumpal, seraya menyebutkan Pasal 18 UUD 45 sebagai dasar atas eksistensinya masyarakat adat yang dimaksud.(MS/KC/Infokom)
0 Komentar